Raja Harun Al Rasyid |
“Abu Nawas, … engkau harus memindahkan istanaku ke atas gunung. Aku mau melihat seluruh negeriku dari istana. Sanggupkah engkau melakukan tugas ini?” tanya Baginda sambil melirik.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. Ia berpikir keras hingga keningnya berkerut. Pikirnya, “Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali ingin dihukum.”
“Raja Sulaiman pun bisa melakukan ini,” kata Raja mengingatkan Abu Nawas.
Dengan terpaksa Abu Nawas pun menyanggupi proyek aneh itu. “Baiklah Baginda,” katanya berat.
Sebelum Abu Nawas pergi, Raja menambahkan permintaannya, “Syaratnya, … pekerjaan ini harus selesai dalam waktu satu bulan.”
Maka Abu Nawas pun meninggalkan istana dengan hati hati masygul.
Sejak saat itu Abu Nawas melewatkan malam bersama rembulan dan bintang-bintang. Hari-harinya dipenuhi perasaan gundah, tak ada hari yang pernah dihadapinya seberat saat ini.
Tepat pada hari kesembilan Abu Nawas tidak lagi merasa gundah. Dan keesokan harinya ia berjalan enteng menuju istana untuk menghadap Baginda. Dengan senang hati Baginda siap mendengarkan Abu Nawas.
“Ampun Tuanku, kedatangan hamba ke sini sebenarnya hanya ingin menyampaikan usul demi memperlancar pekerjaan hamba nanti,” kata Abu Nawas.
“Silakan. Sampikan saja usulmu.”
“Begini. .. Hamba akan memindahkan istana ini tepat pada Hari Raya Idul Qurban. Jadi waktunya kurang dua puluh hari lagi.”
“Hanya itu usulmu?”
Abu Nawas mengangguk
“ Baiklah, .. aku pasti sabar menunggunya,” kata Baginda.
“Ada syarat lagi Baginda …” Abu Nawas cepat-cepat menambahkan.
“Apa lagi? Ayo sampaikan saja,” tanya Baginda.
“Hamba mohon Baginda berkenan menyembelih kurban sepuluh ekor sapi untuk fakir miskin,” kata Abu Nawas.
“Baik! Usulmu kuterima,” kata Baginda menyetujui.
Maka Abu Nawas pun pulang lagi dengan riang gembira. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, karena bila waktunya datang akan mudah memindahkan istana Raja. Jangankan ke puncak gunung, pindah ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Berita pemindahan istana oleh Abu Nawas pun tersiar luas. Semua orang harap-harap campur cemas, walau hampir seluruh rakyat juga yakin atas kemampuan Abu Nawas. Mereka mengenal Abu Nawas sebagai orang yang selalu berhasil melaksanakan perintah Raja termasuk yang aneh-aneh.
Tepat pada hari Raya Qurban, saat yang dijanjikan Abu Nawas untuk memindahkan istana ke atas gunung, rakyat pun berbondong-bondong menuju lapangan untuk shalat ied. Sepuluh ekor sapi yang diminta Abu Nawas pun disembelih, dimasak, kemudian dibagi-bagikan. Kini giliran Abu Nawas untuk melaksanakan tugasnya.
Maka Abu Nawas pun berjalan ke istana diikuti sejumlah besar rakyat. Setiba di depan istana Abu Nawas bertanya pada Baginda Raja, “Ampun Tuanku Yang Mulia, .. Apakah istana sudah dikosongkan? Tidak ada lagi orang di dalam sana?”
“Beres! Semua sudah keluar,” jawab Raja singkat.
Seterusnya Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana, berdiri memandangi istana itu, kemudian berdiri mematung seperti menunggu sesuatu. Begitu lama Abu Nawas diam menunggu, sampai-sampai Baginda Raja tidak sabar lagi.
“Abu Nawas! .. Kapan kau angkat istanaku?”
“Hamba siap sejak tadi Baginda,” kata Abu Nawas.
“Siap sejak tadi bagaimana? Apa lagi yang kau tunggu?” tanya Baginda heran.
“Hamba menunggu istana ini diangkat oleh seluruh rakyat dan diletakkan di pundak hamba. Nah, .. baru setelah itu hamba memindahkannya ke atas gunung.”
Raja Harun Al Rasyid terpana. Tidak disangkanya Abu Nawas bisa menghindari perintah aneh dengan logis.
Sebelum Abu Nawas pergi, Raja menambahkan permintaannya, “Syaratnya, … pekerjaan ini harus selesai dalam waktu satu bulan.”
Maka Abu Nawas pun meninggalkan istana dengan hati hati masygul.
Sejak saat itu Abu Nawas melewatkan malam bersama rembulan dan bintang-bintang. Hari-harinya dipenuhi perasaan gundah, tak ada hari yang pernah dihadapinya seberat saat ini.
Tepat pada hari kesembilan Abu Nawas tidak lagi merasa gundah. Dan keesokan harinya ia berjalan enteng menuju istana untuk menghadap Baginda. Dengan senang hati Baginda siap mendengarkan Abu Nawas.
“Ampun Tuanku, kedatangan hamba ke sini sebenarnya hanya ingin menyampaikan usul demi memperlancar pekerjaan hamba nanti,” kata Abu Nawas.
“Silakan. Sampikan saja usulmu.”
“Begini. .. Hamba akan memindahkan istana ini tepat pada Hari Raya Idul Qurban. Jadi waktunya kurang dua puluh hari lagi.”
“Hanya itu usulmu?”
Abu Nawas mengangguk
“ Baiklah, .. aku pasti sabar menunggunya,” kata Baginda.
“Ada syarat lagi Baginda …” Abu Nawas cepat-cepat menambahkan.
“Apa lagi? Ayo sampaikan saja,” tanya Baginda.
“Hamba mohon Baginda berkenan menyembelih kurban sepuluh ekor sapi untuk fakir miskin,” kata Abu Nawas.
“Baik! Usulmu kuterima,” kata Baginda menyetujui.
Maka Abu Nawas pun pulang lagi dengan riang gembira. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, karena bila waktunya datang akan mudah memindahkan istana Raja. Jangankan ke puncak gunung, pindah ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Berita pemindahan istana oleh Abu Nawas pun tersiar luas. Semua orang harap-harap campur cemas, walau hampir seluruh rakyat juga yakin atas kemampuan Abu Nawas. Mereka mengenal Abu Nawas sebagai orang yang selalu berhasil melaksanakan perintah Raja termasuk yang aneh-aneh.
Tepat pada hari Raya Qurban, saat yang dijanjikan Abu Nawas untuk memindahkan istana ke atas gunung, rakyat pun berbondong-bondong menuju lapangan untuk shalat ied. Sepuluh ekor sapi yang diminta Abu Nawas pun disembelih, dimasak, kemudian dibagi-bagikan. Kini giliran Abu Nawas untuk melaksanakan tugasnya.
Maka Abu Nawas pun berjalan ke istana diikuti sejumlah besar rakyat. Setiba di depan istana Abu Nawas bertanya pada Baginda Raja, “Ampun Tuanku Yang Mulia, .. Apakah istana sudah dikosongkan? Tidak ada lagi orang di dalam sana?”
“Beres! Semua sudah keluar,” jawab Raja singkat.
Seterusnya Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana, berdiri memandangi istana itu, kemudian berdiri mematung seperti menunggu sesuatu. Begitu lama Abu Nawas diam menunggu, sampai-sampai Baginda Raja tidak sabar lagi.
“Abu Nawas! .. Kapan kau angkat istanaku?”
“Hamba siap sejak tadi Baginda,” kata Abu Nawas.
“Siap sejak tadi bagaimana? Apa lagi yang kau tunggu?” tanya Baginda heran.
“Hamba menunggu istana ini diangkat oleh seluruh rakyat dan diletakkan di pundak hamba. Nah, .. baru setelah itu hamba memindahkannya ke atas gunung.”
Raja Harun Al Rasyid terpana. Tidak disangkanya Abu Nawas bisa menghindari perintah aneh dengan logis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar