Kisah Nabi Musa I

Bayi Musa ditemukan keluarga Fir'aun
Raja yang memerintah Mesir pada masa kelahiran Nabi Musa terkenal kejam. Ia memerintah dengan keras, menindas dan sewenang-wenang terutama pada Bani Israil. Raja Fir’aun hidup bergelimang kesenangan duniawi dan mengumumkan diri sebagai tuhan yang harus disembah. 

Suatu saat Fir’aun dikejutkan ramalan ahli nujum kerajaan. Menurutnya seorang bayi lelaki dari kalangan Bani Israil akan lahir dan menjadi musuh kerajaan, bahkan membinasakan Fir’aun. 

Raja Fir’aun pun memerintahkan semua bayi lelaki di Mesir dibunuh.  Maka setiap rumah dimasuki dan perempuan hamil jadi perhatian saat melahirkan. Raja Fir’aun baru tenang setelah wilayah kerajaannya bersih, tak seorang pun bayi laki-laki yang masih hidup. 

Sementara itu Yukabad, isteri Imron bin Qahat bin Lawi bin Yaqub melahirkan bayi lelaki.
Betapa kuatir ia akan nasib bayinya. Namun bidan yang membantunya melahirkan sanggup merahasiakan kelahiran bayi itu. Hingga usianya mencapai tiga bulan, Yukabad mengikuti perintah Allah, yaitu menyembunyikan bayinya ke dalam peti dan mengapungkannya di sungai Nil. Yukabad tidak bersedih karena Allah menjamin akan mengembalikan bayinya bahkan akan mengutusnya sebagai rasul. 

Kakak Musa mengawasi peti yang dihanyutkan dan melihat adiknya ditemukan oleh puteri raja. Bayi itu dibawa ke istana dan diserahkan pada ibunya, isteri Fir’aun. Karena ketakutan, Yukabad hampir membuka rahasia tentang peti itu sebelum diteguhkan hatinya oleh Allah. 
Raja Fir’aun segera memerintah membunuh bayi itu. Ia khawatir inilah bayi yang diramalkan jadi musuh dan membinasakan kerajaan besarnya. Akan tetapi isteri Fir’aun terlanjur sayang terhadap bayi itu. Maka selamatlah nyawa nabi Musa. 

Nama Musa diberikan kepada bayi itu oleh keluarga Fir’aun. Mu berarti air dan Sa bermakna pohon, jadi Musa berarti air dan pohon sesuai tempat ditemukannya bayi itu. Untuk bayi itu didatangkan beberapa inang yang akan menyusui, akan tetapi bayi Musa menolak semua inang. Saat isteri Fir’aun bingung mencari inang, kakak Musa pun menawarkan ibunya. Sejak saat itu ibu kandung Musa menjadi inang bayaran dan terlaksanalah janji Allah untuk menyatukan kembali ibu dan bayinya. 

Musa dididik di kerajaan dan dikenal sebagai Musa bin Fir’aun. Ia jadi keluarga kerajaan hingga dewasa dan dikaruniai hikmah serta pengetahuan oleh Allah. 

Selain kesempurnaan rohani, Musa dikaruniai kesempurnaan tubuh dan jasmani. Ia sadar sebagai anak pungut dan tidak setitik pun darah Fir’aun mengalir dalam tubuhnya. Ia sadar sebagai keturunan Bani Israil yang ditindas dengan sewenang-wenang oleh kaum Fir’aun. Ia pun berjanji akan membela kaumnya yang tertindas. 

Suatu ketika Musa menjumpai dua orang berkelahi. Seorang Bani Israil bernama Samiri dan seorang dari kaum Fir’aun bernama Fatun. Musa mendengar teriakan Samiri meminta pertolongan karena musuhnya lebih kuat dan besar. Musa pun melontarkan pukulan dan seketika itu Fatun jatuh rebah, menghembuskan nafas yang terakhir. 

Musa terkejut melihat Fatun --orangnya Fir’aun-- mati karena pukulannya tidak dimaksudkan untuk membunuh. Ia pun mohon ampun pada Allah, namun peristiwa itu terlanjur jadi pembicaraan ramai. Mereka menuntut agar pelakunya dihukum berat. Keamanan kerajaan pun akhirnya dikerahkan ke pelosok kota untuk mencari orang yang membunuh Fatun. 

Saat Musa menyembunyikan diri, ditemukannya lagi Samiri yang –lagi-lagi-- sedang berkelahi. Musa bermaksud mengingatkan Samiri agar tidak berkelahi, namun Samiri ketakutan dan mengira akan dibunuh. Teriakan Samiri pun didengar orang, hingga ramai mengetahui bahwa Musa lah yang memukul Fatun hingga tewas. 

Ketika Fir’aun mengatur rencana penangkapan Musa, seseorang menasihatinya agar segera meninggalkan Mesir. Maka Musa pun segera pergi dari Mesir seorang diri. Setelah berjalan beberapa hari Musa pun tiba di kota Madyan --kota tempat tinggal Nabi Syuaib di timur jazirah Sinai dan teluk Aqabah di selatan Palestin. Nabi Musa istirahat di bawah pohon tanpa tahu akan pergi ke mana. 

Nabi Musa menyaksikan sekumpulan penggembala berdesakan mengelilingi sumber air, sementara tak jauh dari sana dua orang gadis menunggu giliran memberi minum ternaknya. Musa --karena rasa ibanya-- mengambilkan air untuk kedua gadis itu agar diminumkan pada ternaknya. 

Pengalaman itu pun diceritakan kedua gadis pada ayah mereka –Syuaib-- hingga Musa dipanggilnya datang ke rumah. Di rumah itulah Musa mengisahkan peristiwa yang dialaminya di Mesir. Selanjutnya Musa ditampung di rumah Syuaib hingga dikagumi keberaniannya, kecerdasannya, kekuatan jasmaninya, perilakunya, budi perkerti dan akhlaknya yang luhur. Maka Musa pun dipekerjakan sebagai pembantu. 

Dalam perjalanan waktu, Musa pun dikawinkan dengan seorang putri Syuaib –Shafura—dan sebagai maskawin Musa harus bekerja sebagai pembantu selama beberapa tahun. Musa dan Shafura juga mendapatkan hadiah perkawinan beberapa ekor kambing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar