dr Cipto Mangunkusumo


Cipto Mangunkusumo lahir 4 Maret 1886 di Jepara. Ia putera sulung dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan di Jawa. Mangunkusumo guru bahasa Melayu di SD Ambarawa, jadi kepala sekolah di Semarang, dan jadi pembantu administrasi Dewan Kota Semarang. Ibunya keturunan tuan tanah di Jepara.
Saat sekolah di Stovia Cipto sudah mulai menonjol. Ia jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaald leerling” atau murid yang berbakat, itulah julukannya. Sementara teman-temannya suka pesta dan bola sodok, Cipto pilih ceramah, baca buku atau catur. Penampilannya eksentrik dengan surjan kain lurik serta rokok kemenyan. 

Ia tidak puas dengan lingkungan sekeliling. Baginya, Stovia jadi tempat menemukan kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif. Beberapa peraturan Stovia ia tentang. Ia mengolok-olok aturan agar keturunan Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen harus memakai baju tadisional, sementara pakaian Barat hanya untuk hirarki administrasi kolonial, atau pribumi dengan jabatan bupati.

Protes Cipto tampak dalam De Locomotief, sebuah Koran kolonial yang progresif di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Cipto rajin menulis untuk De Locomotief sejak 1907. Tulisannya berisi kritik dan menentang masyarakat yang tidak sehat. 

Cipto mengkritik hubungan feodal dan kolonial yang jadi sumber penderitaan. Rakyat terbatas ruang geraknya, kesempatan tertutup bagi mereka, keturunan menentukan nasib, bukan keahlian atau kesanggupan. Kondisi yang juga ditentang Cipto adalah diskriminasi ras. Diskriminasi ada dalam gaji, peradilan, pajak, kewajiban kerja rodi, dan kerja desa. Tidak semua kesempatan terbuka bagi pribumi, ada larangan berdagang besar-besaran, tidak setiap anak dapat sekolah di sekolah Eropa, ada larangan masuk kamar bola dan sociteit.

Cipto sering ditegur hingga keluar dari dinas pemerintah walau harus mengembalikan uang ikatan dinas. Cipto sering melawan arus, masuk sociteit dengan pakaian batik dan jas lurik hingga diusir opas. Cipto pun menjawab dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Belanda hingga orang-orang terperangah.  

Budi Utomo yang dibentuk pada 20 Mei 1908 disambut baik oleh Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta jatidiri politik Cipto tampak. Kongres yang diadakan untuk memajukan Jawa malah menimbulkan keretakan antara kaum konservatif dan progesif yang diwakili golongan muda. 

Cipto ingin Budi Utomo bergerak demokratis dan terbuka, jadi pimpinan bagi rakyat tanpa hubungan dengan bupati dan pegawai tinggi lain. Sementara Radjiman ingin Budi Utomo jadi gerakan kebudayaan Jawa. 

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tapi ia menolak budaya keraton yang feodal. Menurut Cipto sebelum soal budaya harus diselesaikan masalah politik. Untuk membangun persatuan rakyat Hindia Belanda, tidak dapat dicapai dengan kebangkitan kehidupan Jawa karena sumber keterbelakangan adalah penjajahan. 

Pernyataan seperti itu bagi jamannya dianggap radikal, hingga gagasannya yang rasional, analitis dan menjangkau masa depan itu tak mendapat tanggapan luas. Cipto akhirnya mengundurkan diri jabatan di Budi Utomo karena tidak mewakili aspirasinya, dan Budi Utomo kehilangan kekuatan dinamikanya. 

Seterusnya Cipto membuka praktek dokter di Solo. Di sela kesibukan ia mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub untuk memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik makin menjadi setelah bertemu Douwes Dekker yang sedang propaganda mendirikan Indische Partij. 

Douwes Dekker jadi kawan seperjuangan, memberinya kesempatan melaksanakan gerakan politik. Indische Partij menjadi jalan mulia untuk mewakili kepentingan Hindia Belanda tanpa membedakan suku, golongan, dan agama. 1912 Cipto pindah ke Bandung mendekati Douwes Dekker. Ia jadi redaksi harian de Expres dan majalah het Tijdschrijf. 

1913 Belanda memeringati 100 tahun kemerdekaan dari Perancis. Karena perayaan tersebut dianggap Cipto sebagai penghinaan, maka ia dan Suwardi Suryaningrat mendirikan komite perayaan dengan nama Komite Bumi Putra. Cipto jadi ketua dan menghimpun uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina. Ia minta pasal pembatasan kegiatan politik dan pembentukan parlemen dicabut. Mereka juga membuat selebaran untuk menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan merupakan penghinaan. 

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncak pada 19 Juli 1913. Harian De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Hari berikutnya Cipto menulis dukungan pada Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan. Tulisan Cipto dan Suwardi begitu memukul hingga mereka dipenjara. Pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda. 

Selama masa pembuangan Cipto terus melancarkan aksi politik dengan propaganda Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier untuk menyadarkan masyarakat akan situasi di tanah jajahan. Kehadiran tiga pemimpin di Belanda ternyata membawa pengaruh. Indische Vereeniging yang mulanya perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, menginspirasi konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan Indische Vereeniging. Pengaruh ini makin terasa dengan terbitnya jurnal Indische Vereeniging, Hindia Poetra pada 1916. 

Karena alasan kesehatan tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang ke Jawa dan bergabung dengan Insulinde, perkumpulan pengganti Indische Partij. Cipto jadi pengurus pusat Insulinde dan melancarkan propaganda, selain propaganda melalui majalah Goentoer Bergerak, surat kabar De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda, anggota Insulinde dari 1.009 jadi 6.000, bahkan mencapai 40.000. Insulinde pun jadi partai yang radikal di Hindia Belanda dan pada 9 Juni 1919 berubah jadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggotanya dilakukan dengan dua cara; calon dipilih dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi, serta calon yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal seperti Cipto agar Volksraad dapat demokratis.

Bagi Cipto Volksraad merupakan kemajuan, walaupun tetap dikritik sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan. 25 Nopember 1919 Cipto pidato di Volksraad tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Menurut Cipto, pinjaman 12 gulden yang diterima Sunan harus dibayar rakyat dengan kerja di perkebunan senilai 28 gulden. Akibat pidato itu Cipto diusir Cipto ke luar Jawa. Karena membuang Cipto ke Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur dinilai membahayakan, Dewan Hindia memilih mengusir Cipto ke Kepulauan Timor, kemudian ke Bandung dan dilarang keluar kota. Cipto kembali buka praktek dokter, masuk-keluar kampung dengan sepeda untuk mengobati pasien.

Di Bandung Cipto bertemu kaum nasionalis muda seperti Sukarno (th 1923 membentuk Algemeene Studie Club – yg th 1927 diubah jadi Partai Nasional Indonesia). Meskipun tidak jadi anggota resmi, Cipto jadi penyumbang pemikiran. Sukarno mengakui itu dalam dalam wawancara (1959). 

Akhir 1926 dan 1927 terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan gagal, ribuan orang ditangkap dan dibuang, dan Cipto didakwa turut serta. Cipto memang didatangi seorang militer pribumi yang merencanakan sabotase, Cipto menasehati agar tidak sabotase, tapi ia memberi uang saku karena mengaku kehabisan bekal.

Setelah pemberontakan komunis gagal dan peledakan gudang mesiu terbongkar, Cipto dipanggil. Ia dibuang ke Banda hingga sakit asmanya kambuh. Berkat perjuangan kawannya, Cipto diusulkan agar dibebaskan. Ketika diminta menandatangani perjanjian melepaskan hak politiknya, Cipto tegas mengaku lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto dialihkan ke Makasar, dan tahun 1940 dipindahkan ke Sukabumi. Cipto tetap berkeras aktif dalam politik hingga meninggal pada 8 Maret 1943. 

1 komentar:

  1. pelajaran yang sangat berhaga gan, jiwa nasionalisme yang tinggi

    BalasHapus