Dewa Ruci

bima sena_dewa ruci
Dewa Ruci

Hasrat Kurawa  untuk njlomprongne  Pandawa ke dalam kesengsaraan begitu besar. Maka dengan memakai tangan Resi Durna, Sena yang jadi murid Durna pun diberi ajaran sasar. Untuk mencapai kesempurnaan hidup Sena harus mencari toya amreta, yaitu air penghidupan yang hanya ada di hutan Tibrasara. Sebagai murid, niat taat pada guru, Sena budal  mengikuti perintah.
Sebelumnya memang sudah dibicarakan di lingkup keluarga Kurawa bagaimana cara yang bisa ditempuh untuk  memusnahkan Pandawa. Membunuh secara langsung tentu tidak mungkin karena Kurawa dan Pandawa punya ikatan paseduluran. Diputuskan bahwa upaya itu akan dijalanklan dengan tipuan.
Sena berangkat mencari air amreta di hutan Tibrasara, tepatnya di bawah Gandawedana, di gunung Candramuka, neng njero gua. Dengan ijin dan restu Resi Durna serta prabu Suyudana, berangkatlah Sena. Keluarga Kurawa pun tersenyum membayangkan keberhasilan mereka ngirim Sena untuk menghadapi dua raseksa yang akan membunuhnya.
Sesampai di gunung Candramuka Sena nemoni  tak ada air yang dicarinya. Ia obrak-abrik isi gua hingga Raksasa Rukmuka dan Rukmakala ngamuk. Terjadilah perkelahian dengan hasil kekalahan dua raksasa. Mereka ditendang, dibanting ke batu dan hancur lebur. Dalam kelelahan yang sangat ia berdiri ngaso di bawah pohon beringin.
Dalam kepiluan itu Sena mendengar suara tanpa wujud. "Cucuku Sena jangan bersedih. Kegagalanmu jalaran  kurangnya bimbingan. Nyuwunno  penjelasan luwih  gamblang pada gurumu."
Tak butuh waktu lama bagi Sena untuk balik ke Astina. Di ruangan itu hadir Resi Durna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa. Kedatangan Sena begitu mengejutkan, apalagi saat diaporkannya kematian dua raseksa. Durna pun segera mengklaim bahwa ia hanya menguji. Tempat air yang dicari sebenarnya ada  di tengah samudera.
Sementara di Amarta, keluarga Sena yang mengetahui tipu daya Kurawa segera mengadu ke hadapan prabu Kresna di Dwarawati. Prabu Kresna pun datang ke Amarta membawa pasukan. Setelah menerima penjelasan Darmaputra, Kresna menenangkan mereka. “Apus krama Kurawa pasti akan berbalas. Bencana bakal dijatuhkan Dewata Agung,” begitu dawuhnya.
Ketika perbincangan berlangsung tiba-tiba datanglah Sena. Bala Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi, Srikandi, dan lain-lain sangat senang menyambutnya. Namun semua berubah duka saat tahu kedatangan Sena hanya untuk pamitan sebelum mencari air suci ke tengah samudera. Nasehat, tangisan, petunjuk dan himbauan tidak membuatnya surut langkah. Sena menguatkan niat untuk budal, tak ada takut atau lelah. Maka ia pun masuk dan keluar hutan, naik gunung turun lembah, sampai tiba di pinggir lautan.
Meski tak pandai berenang Sena pantang pulang atau menentang sang Maharesi. Bila harus mati, jika dikehendaki dewata ia pun sanggup. Sena berlama-lama memandang laut dan keindahan isinya. Dengan memusatkan perhatian dan mengabaikan bahaya, ia pun mencebur ke laut dengan mengandalkan ilmu Jalasengara agar air menyibak.
Seketika datanglah naga melilit Sena. Binatang besar pemangsa ikan laut, dengan wajah ganas berbisa mematikan, mulut menganga bagai gua, taring tajam bercahaya itu menyemburkan wisa bagai hujan. Sena mengira ajalnya tiba. Untunglah ia ingat ajian kuku Pancanaka, hingga ditusuknya badan naga sampai darah memancar dan naga besar pun mati.
Setelahnya Bima Sena alias Wrekudara bertemu sesosok wayang berambut panjang, seperti anak kecil bermain di permukaan lautan. Ternyata ia bernama Dewa Ruci.
“Sena, apa kau lakukan di sini, apa maksudmu menjamah lautan? Jika tidak karena dorongan yang besar, mustahil kau ada di sini. Ketahuilah, saat kau jalankan perintah, pertapa pun sulit menikmati hidup. Jangan keburu berangkat bila belum jelas.”
"Kemarilah Wrekudara, masuklah ke tubuhku." "Bagaimana bisa?" Dewa Ruci tersenyum, "Kau tak sebesar isi dunia. Sedang hutan, gunung, samudera dan isinya pun ora kebeg  masuk tubuhku."
Masuklah Sena melalui telinga kiri. Tampak olehnya laut luas tanpa batas. Sesaat kemudian udara terang, tampak Dewa Ruci memancarkan sinar hingga muncul rasa nyaman di hati. Sena menemukan empat benda hitam, merah, kuning dan putih. Sateruse  Sena mendapatkan pengajaran.
"Cahaya yang semula kau lihat itu Pancamaya. Ia ada dalam  hati dan memimpinmu. Ia mata hati  yang menandai hakikatmu. Yang merah, hitam, kuning dan putih itu penghalang. Yang hitam marah terhadap segala, murka, menghalangi tindakan baik. Yang merah nafsu baik, sadar pada kewaspadaan. Yang kuning suka merusak, sedang yang putih tenang tanpa pikiran, perwira dalam kedamaian. Hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi.”
Wrekudara melihat cahaya berkilat, berpelangi melengkung. Menurut Dewa Ruci, itu bukan air suci yang dicari melainkan Pramana, sesuatu yang menyatu dengan diri tapi tidak ikut gembira atau prihatin, ada di tubuh tapi tak ikut makan dan minum, tidak sakit atau menderita. Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, sungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah, jangan gaduh, jangan bicara sembunyi-sembunyi, lekas mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan, tapi kuasailah. Penerima ajaran ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati, karena nasehat merupakan benih.”
Wrekudara nrima ajaran dengan suka hati. "Sena ketahuilah, tidak ada lagi ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai. Kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, serta kesungguhan hati ada dalam cara melaksanakan.”
Seusai Dewa Ruci menyampaikan ajarannya Wrekudara pun kembali ke alam wayang. Gembira hatinya, hilang kalutnya, dan Dewa Ruci sirna dari paningal. Arya Wrekudara pulang ke Amarta. Saat itu di Amarta berkumpul saudaranya bersama Prabu Kresna untuk membicarakan kepergian Sena ke samudera. Disambutlah ia dan ia kisahkan bahwa perjalanannya telah dicurangi. Di lautan tidak ada air penghidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar