Pembalasan Durna

Resi Durna
Pembalasan Durna
Durna umumnya dianggap berwatak buruk, penyebar fitnah dan perusak perdamaian. Banyak yang melupakan, sesungguhnya Durna seorang resi bergelar Sanghyang Dwija Wirpa, seseorang dengan derajat hampir setingkat dewa. Sikapnya bijaksana, cerdas tetapi rendah diri walau  berilmu tinggi. Ia juga ahli strategi perang pemilik Sir Weda Danur  Weda, yakni kitab ilmu bercinta dan ilmu menggunakan senjata dan strategi perang.
Tubuh cacat resi Durna diperoleh ketika ia berkunjung ke Pancala mengunjungi sahabat karibnya yang lama tak jumpa, Sucitra. Ketika itu Sucitra jadi raja negara Pancala bernama Drupada. Saat bersama-sama menimba ilmu, dahulu, ketika jadi siswa Resi Baratwadya, mereka berdua sangat bersahabat,  seumpama makan sepiring bersama minum semangkuk berdua.
Sampai-sampai, karena kedekatannya, ketika Sucitra akan kembali ke negerinya, sempat berjanji akan memberikan sebagian tanah negara kepada Durna. Kini, dalam kunjungannya menemui sahabat lama itu, harapannya adalah bertemu dengan Sucitra, kemudian disambut dengan ramah-tamah, dan jadilah perjumpaan itu sebagai pertemuan nostalgia yang indah dengan cerita kenangan masa dulu. 
Jauh panggang dari api, ternyata beda harapan dengan apa yang terjadi. Begitu Durna masuk kraton dan menyapa sahabatnya  dengan kata-kata penuh kerinduan, lain pula budi perangai Drupada. Yang diperlihatkan adalah raut muka dingin, muram dan tiada keakraban.  “Hei, siapa engkau?! Berani-beraninya mengaku sahabat karibku. Sejak kapan aku bersahabat dengan kau? Tidak mungkin seorang raja agung seperti aku bersahabat dengan pengemis seperti engkau.
Sungguh petir telah menyalak di siang bolong. Durna terperangah tak menyangka akan disambut dengan sikap dan kata-kata yang menyakitkan. Namun dengan kebajikannya ia masih mencoba mengingatkan dengan kata-kata yang berbeda. “Oh, maaf beribu maaf tuan. Maafkan hamba orang dusun tak paham sopan santun. Hamba tadi mengira tuan masih seperti dahulu ketika kita sama-sama menuntut ilmu, dan …” “Cukup!!!” bentak Drupada memutus pembicaraan Durna. “Pengakuanmu ngawur!  Kau kira dengan begitu aku mau mengakui bahwa kau benar sahabatku. Aku memang pernah berguru, tapi tidak seperguruan dengan orang serendahmu,” kilahnya.
Demi ketersinggungannya Drupada menuduh Durna sengaja mempermalukan dirinya di hadapan para mantri dan  bupati. Patih Gandamanah yang jadi body guard pun mulai naik pitam. Tanpa menunggu perintah kedua diseretnya pendeta muda itu keluar Kraton. Ia dihajar habis-habisan hingga tak sadar lalu dibuang ke hutan belantara.  
Penganiayaan itu membekaskan cacat di tubuh Durna. Hidungnya bengkung, matanya picak sesisih, tangan sengkong akibat patah tulang karena plintiran. Dalam kesakitan luar-dalam begitu ia berjalan hingga tiba di negara Astinapura. Nasibnya tertolong oleh ilmunya yang tinggi, hingga diangkat oleh Arya Bisma sebagai guru besar ilmu peperangan.
Keluarga kerajaan yang terdiri dari Kurawa dan Pandawa adalah murid-murid Durna. Bertahun-tahun ia bina keturunan Barata sampai lahir manusia-manusia ksatria. Suatu hari dipanggilnya murid-murid untuk uji keterampilan menggunakan panah. Seekor burung di pohon ditetapkan sebagai sasaran.
Ujian dimulai pada Yudhistira. “Yud, awasi burung itu. Perhatikan,  … selain burung apa lagi yang kau lihat?” Yudhistira, “Selain burung saya lihat batang pohon, bapak guru dan keempat saudara saya.”  Ketika pertanyaan diulangi, jawaban Yudhistira tetap sama sama. “Sudah, jemparing tak usah dilepas, tak bakal kena, minggir!”
Saat Duryudana mendapat giliran, pertanyaan yang sama juga disampaikan, “Selain burung saya juga lihat daun bergerombol banyak sekali. Ada juga ranting, kemudian … “ Sudah, sudah, ayo minggir!”  Hal yang sama juga terjadi saat giliran para Kurawa dan Pandawa.
Sampailah giliran Arjuna. “Apa yang kau lihat di sana?” “Burung,” jawab Arjuna. “Selain burung?” “Saya tidak melihat apa-apa selain badan burung.” Wajah sang resi berseri, “Coba lihat apa warna bulunya dan sebutkan satu persatu.” “Yang kelihatan  hanya kepalanya.” Seketika sang guru memerintah, “Lepaskan anak panahmu!” Maka melesatlah anak panah, suaranya berdesing dan tepat mengenai sasaran hingga burung itu jatuh.
Kepada murid-muridnya Durna mengharap rasa solider dengan menangkap Drupada tanpa melukai. Duryudana, pimpinan kelompok Kurawa unjuk muka mencari nama, “Bapak guru, luka hatimu adalah luka juga di hatiku. Maka aku akan menyeret si Drupada ke hadapanmu.”
Maka tanpa minta restu berangkatlah ia dengan gerombolan Kurawa menuju Pancala. Hasilnya, mereka pulang dengan tangan hampa serta muka babak belur dihajar tentara. Giliran berikutnya Pandawa mohon restu menangkap Drupada. Pesan Durna, “Anakku, hatiku memang sakit tapi tangkaplah ia tanpa luka. Balaslah kejahatan dengan keadilan dan balaslah kebaikan dengan kebajikan, camkan itu.”
Maka Pandawa berangkat menuju Pancala. Tak butuh waktu lama bagi Arjuna untuk menangkap Drupada. Maka dibawalah ia ke hadapan Durna tanpa berani menatapnya. Ia telah merasa sakit sebelum dianiaya ketika mengingat Durna telah datang padanya tapi tak diakui, bahkan dihina dan jadi tawanan. Drupada siap menerima pembalasan bahkan mungkin nyawanya akan melayang.
“Selamat datang paduka raja agung Pancala. Hamba mohon maaf belum bisa menerima paduka dengan layak. Maklum hamba hanya pengemis hina.” “Oh kakang Durna, aku terima salah telah membuat kakang sakit lahir dan batin. Tetapi keahuilah, waktu itu kakang tidak menghargai aku sebagai raja.  kakang menyamakan aku sebagai orang biasa, berteriak-teriak memanggil nama di bawah sorotan mata para sentana dan mantri bopati. Aku merasa dipermalukan sat itu.” Drupada coba memberi alasan.
Durna tertunduk mendengar alasan yang tak menyalahi. Tapi jawabnya, “Hamba bersalah tak tahu sopan santun sampai mempermalukan paduka. Tapi saat itu hamba sudah mohon maaf, hingga paduka tega membiarkan hamba diseret dan dianiaya. Padahal kita dulu bersahabat bagai kakak adik,” ujarnya sendu.
“Yah, … aku memang bersalah. Kini terserah, mati hidupku ada ditangan kakang.” “Jangan samakan diri paduka dengan hamba. Mana mungkin orang kecil seperti hamba berani berbuat keji, walaupun paduka telah mengiris-iris hati hamba dengan pisau kebencian hingga pedih tak terperikan. Rasa kemanusian hamba tak mengizinkan membalas seperti pernah paduka lakukan. Bagaimanapun paduka adalah bekas sahabat karib ketika jadi siswa resi Baratwaja. Itu kalau paduka mengakui.”
“Lalu apa maksud kakang menawan aku?” tanyanya. “Hamba menagih janji. Paduka berikrar akan menganugerahkan separuh tanah Pancalareja kepada hamba.” Terdengarlah suara-suara memuji Durna, ditambah suara lain menyatakan Drupada beruntung tidak dianiaya.  Sementara Drupada, karena tinggi keakuannya, merasa malu dan mengecam Durna sebagai lebih kejam dari dugaannya. Dipermalukan di hadapan orang banyak menghancurkan keagungannya, dan menyerahkan tanah kerajaan tak bisa lagi dihitung nilainya.  Ia pun berjanji akan membalas Durna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar