Petruk Jadi Ratu

petruk
Suasana hening seperti menyergap, andum rasa mencekam di istana Hastina. Raut muka setiap wayang menjadi tegang, udara ketidak-puasan kemampul di mana-mana. Sang nata Duryudana amung membisu tetapi penuh pikiran, seperti akan menghardik tetapi tak ada sasaran. Bahkan darah di wajah para adipati banjir menderas, tampak dari mimik mereka yang memerah.


Durna, Sengkuni, Baladewa, Karna, Jayadrata, Dursasana, keseluruhannya –tanpa kecuali- tegang, lebih-lebih lagi para bala kurawa yang jumlahnya ada satus wayang.


Penyebabnya, sebuah negara kecil berjuluk Sonyawibawa muncul tiba-tiba di sudut negeri Hastina. Hadirnya seperti thukul dari dalam bumi, atau seperti menetes dari mendung di saat gelap.
Ujug-ujug sudah ada. Warga Sonyawibawa semakin meruah, tapal batasnya seolah bergeser makin amba. Negeri ini mengaku demokrasi yang berdaulat, tidak tunduk pada Hastina tetapi melahap tanah Hastina tanpa takut walat.

Nayaka Hastina sudah sepakat tunggal pendapat, Sonyawibawa saestu pendurhaka sejati. Kalau bukan penjajah, setidaknya adalah pembelot yang harus dilawan attawa dibikin musnah. Untuk itulah, dengan kesanggupan membayar mahal, bahkan dengan nyawa sekalipun, para senapati bersedia menunaikan tugas suci demi menghapus aib.

Para senapati yang berangkat nglabrak Sonyawibawa, terbelalak menyaksikan kondisi negeri baru yang mereka temukan. Taman dan tugu Hastina kini malih jadi ladang jagung dan palawija. Kuda tunggangan dan burung prenjak tak ada lagi, berganti pitik serta bebek ingon-ingon omahan. Tambahannya kerbau pembajak sawah dan sapi penggeret cikar.

Jika Hastina beraroma bunga dan kembang semerbak, sekarang di mana-mana hanya ada ambu pupuk kandang. Kehilangan yang paling menohok, candi pemujaan serta bangunan-bangunan tetenger malih menjadi kandang ingon-ingon. Hastina sing agung sudah dicaplok Sonyawibawa sampai kelangan aura dan dadi lugu, tanpa warna meriah atau haru biru. Yang tersisa hanya hijaunya daun berseling coklat dan hitam lemah, itupun berlumpur dan becek disosori bebek.

Demi kehormatan, dengan panik menyerbulah para punggawa Hastina ke belantara Sonyawibawa. Sudah pasti para senapati Sonyawibawa tidak mendiamkannya. Mereka menghadang dengan menghadirkan patih Kanekaretna, Detya Kaladurga, Arya Sigargagang, ditambah Tumenggung Ardawalika.

Hanya sekejap, semua nayaka Hastina sudah kasil ditangkap. Mereka diikat dan dibawa ke hadapan Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot Upelgen. Di hadapan Maharaja ini para tawanan ndingkluk amari kelu, mau tidak mau harus mengaku diri menjadi pihak yang dikalahkan.
Berita unggulnya tentara Sonyawibawa menjadi guntur di istana Hastina. Kegundahan mencekam, menyihir Duryudana, Durna, Lesmana dan Aswatama menjadi pakewuh. Mereka pun sambat pada kadang Pandawa meskipun harus mengorbankan wibawa praja.

Bukan Pandawa kalau menolak permintaan bantuan. Buktinya Pandawa segera budal memberi dukungan, membantu sisa kurawa yang nglurug lagi ke Sonyawibawa. Tak kurang Bima, Arjuna, Pancawala, dan Gatotkaca, ditambah Antareja, Abimanyu, Irawan, serta Wisanggeni budal bareng-bareng ngancani Durna, Duryudana, Aswatama, dan Lesmana.
Sementara itu di perbatasan, ada Semar bersama Gareng dan Bagong yang bertugas ngumpulne informasi. Sambil mendendangkan jula-juli mereka pura-pura leren di tapal batas, namun sebenarnya mereka sedang pasang mata pasang telinga, mengawasi, mengamati dan mencurigai suasana di Sonyawibawa. Rasa-rasanya para Punakawan sudah sangat akrab dengan atmosfir Sonyawibawa. Tiga Punakawan ini rumangsa ada aroma seseorang yang tak asing di Sonyawibawa.

Kehadairan Punakawan di perbatasan ini ternyata sudah diendus sang prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot Upelgen. Rasa waswasnya keluar menjadi perintah kepada para tumenggung, kapiten, dan jagabaya, agar mewaspadai tiga makhluk wayang yang berbahaya. Ciri-cirinya, kata sang prabu, mereka jenaka, yang tua gendut berkucir, seorang lagi pincang bubulen dengan pengiring wayang bermata belok tak becus bicara. Wanti-wanti sang Prabu, mereka tidak boleh masuk istana.

Siasat trio Semar-Gareng-Bagong nyatanya terbukti ampuh. Mereka ngupaya mlebu ke istana setelah melumpuhkan semua penjaga. Kentut semar membius semua mantri-jagabaya hingga lumpuh, bahkan pesinden penghibur dan juru pengrawit mlayu terbirit-birit selain ada yang mengaduh kesakitan. Gareng-Bagong, dengan masker model ninja menyerbu sang prabu yang gak sempat endha. Raja Sonyawibawa itu jatuh njlungup, busana kebesarannya mbiyak hingga segala bekas kudis, bintil, kadas putih dan panunya katon. Semar ngguyu terkekeh mendapati musuh yang diserbunya kami kisinen. Tak lain dan tak bukan, si raja Sonyawibawa adalah anaknya sendiri kiai kantongbolong Petruk.

“Nyapo kowe selalu aneh-aneh ora kaya kakangmu Gareng lan adimu bagong ?” Tanya Semar. “Duh rama Semar, anakmu Petruk pengin ngrasakne enaknya jadi raja. Awan bengi hanya tayuban, dahar kembul andrawina, saben dina tidak pusing mikir blanja.”

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus