Serat Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

begawan wisrawa
Dasamuka atau Rahwana, meskipun berwatak candala dan gemar pertumpahan darah sebenarnya adalah anak Begawan sepuh-sakti-linuwih bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang jelita. Bagaimana dua manusia yang sempurna melahirkan raksasa-buruk-rupa-angkara-murka?

Al kisah, rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia ada dalam Serat Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. (Serat = ajaran, sastrajendra = perihal raja, hayuningrat = kedamaian, dan pangruwating = merubah jadi baik, diyu = raksasa atau keburukan). Raja dalam sastrajendra merujuk bukan pada makna harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki manusia dalam menguasai hawa nafsu dan pancaindranya, merubah keburukan jadi kebaikan. 

Jadi Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk
merubah keburukan jadi kemuliaan. Ilmu ini merubah raksasa (yang tidak sempurna) jadi manusia.


Dewata memercayakan ilmu ini pada Wisrawa, satria berwatak wiku yang cerdik-pandai-sakti untuk menyebarkannya. Sebelum “madeg pandita“ Wisrawa telah lengser keprabon, menyerahkan tahta kepada putranya, Prabu Danaraja. Sang wiku lebih gemar bertapa hingga dicintai sesama dan dicintai dewa.


Di kahyangan, ketika memutuskan siapa yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada Betara Guru, “Sang Batara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya?“ 
Batara guru menjawab, “Pilihanku adalah anak kita Wisrawa.“ Serentak para dewa bertanya, “Apakah paduka tidak mengetahui, akan timbul bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya?” 
“Kenapa tidak kepada kita yang lebih mulia?“ Batara Guru menegur, 
“Aku tahu. Namun takdir Tuhan Yang Kuasa, ilmu rahasia hidup diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, malaikat pernah mempertanyakan Tuhan, mengapa manusia dijadikan khalifah padahal suka menumpahkan darah?“ Serentak para dewata menunduk. 
“Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui.” Maka Batara Guru turun ke mayapada didampingi Batara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.


“Begawan Wisrawa, ketahuilah, para dewata memberikan amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan.” 
Menangislah Sang Begawan, “Ampun, Batara agung, bagaimana mungkin saya menerima anugerah ini?“ 
Batara Narada,“Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada dua. Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu menjaga dan menjunjung martabat manusia.“


Maka berbondong-bondonglah satria, pendeta dan cerdik pandai minta wejangan. Mereka berebut mendatangi pertapaan, melamar jadi cantrik agar dapat sedikit ilmu Sastra Jendra. 
Tak sedikit yang pulang kecewa, tak sembarang orang mampu menerima, begitu pun para wiku, sarjana, dan satria, harus menerima kenyataan, hanya yang terpilih mampu menerima.


Ngalengka, sebuah negeri yang separuh rakyatnya manusia dan separuh lainnya raksasa, dipimpin Raksasa Prabu Sumali dibantu iparnya raksasa Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka-teki kehidupan, setelah lebih dulu mengalahkan Jambumangli. Beribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka mengadu nasib mendapatkan sang jelita. Nyatanya tak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. 

Ketika kabar ini sampai ke negeri Lokapala, Prabu Danaraja masygul hatinya karena belum menemukan pendamping. Sang Ayahanda, Begawan Wisrawa akhirnya berkenan jadi jago untuk memenuhi tantangan Ngalengka.
Begawan Wisrawa pun berangkat, bertemu dewi Suksesi dan menggulingkan Jambumangli. Pertanyaan Dewi Sukesi pun dijawab satu demi satu hingga sampai pada pertanyaan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan yang semula menolak, dapat ditaklukkan sang Dewi yang bersikeras.
Sang Begawan luluh, dengan syarat ilmu ini nantinya harus dijiwai. Keduanya pun jadi guru-murid, pengajar-yang diajar. Hari demi hari keduanya berinteraksi, sementara di kahyangan, para dewata melihatnya, “bukankah Wisrawa sudah tahu tak sembarang orang bisa diajari Sastrajendra?“ Maka para dewa melapor Batara Guru, “Bisa-bisa nanti manusia menguasai kita, sedang kita belum sempat mempelajarinya.“ Batara Guru membenarkan. Maka dipanggillah Dewi Uma untuk menguji Begawan dan muridnya.
Sang Dewi merasa, pria di hadapnya adalah calon pendamping. Biar beda usia namun cinta telah merasuk jiwa. Terjadilah peristiwa, keduanya bersatu dalam lautan asmara, lupa hakikat ilmu, guru, murid dan susila. Sang Dewi hamil, hingga murkalah Prabu Sumali karena menerima menantu seusia dengannya.
Musibah pertama, senapati Jambumangli malu dan mengamuk. Ditantangnya sang Begawan karena tidak rela tahta Ngalengka diteruskan oleh keturunan Begawan dengan cara nista. Senapati Jambumangli tewas namun sempat besumpah, akan ada anak Begawan seperti nasibnya, ditewaskan oleh kesatria.
Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan besar-besaran ke Ngalengka untuk menghukum ayahnya. Terjadi perang empat puluh hari empat puluh malam sampai keduanya berhadap-hadapan. Keduanya berurai air mata karena harus bertarung menegakkan harga diri. Batara Narada turun melerai.
Musibah ketiga terjadi saat Dewi Sukesi melahirkan darah segunung dan dinamakan Rahwana (=darah segunung). Menyertai kelahiran pertama keluar wujud kuku yang jadi raseksi, Sarpakenaka. Ia lambang wanita berjiwa angkara, mampu berubah wujud rupawan. Pasangan ini terus menghadapi musibah, hingga harus selalu tapa brata menebus kesalahan. Kehamilan Dewi Sukesi yang kedua melahirkan raksasa berbudi luhur, Kumbakarna.
Musibah berlalu setelah keduanya tidak putus memanjatkan puja. Serat Sastrajendra mulai terkuak dan disinari kebenaran ilahi. Sang Dewi pun melahirkan manusia, diberi nama Gunawan Wibisana. Satria ini akhirnya mampu menegakkan kebenaran di Ngalengka sekalipun harus disingkirkan saudaranya, dicela bagai penghianat. Gunawan Wibisana jadi simbol kebenaran yang tersimpan dalam Lumpur. Melalui Gunawan Wibisana bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya. Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita namun pertempuran menegakkan kesetiaan pada kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar