Bambang Ekalaya |
Bambang Ekalaya tak pernah menyesali
nasibnya. Keinginannya meguru pada Drona begitu kuat, namun bekalnya lebih dulu
habis sebelum sampai di Hastinapura. Tak mungkin baginya minta belajar pada guru
tanpa upeti tanda bakti. Tak mungkin kembali ke Keraton karena tekadnya bulat
ingin ngangsu ngelmu.
“Bagaimana gelandangan sepertiku bisa belajar?”
Ia bergumam hampir tak terucap karena nafasnya terengah. Maka Bambang Ekalaya pun
mulai memahat. Sinar bulan dan api obor jadi penerang, begitu terus tiap hari
dan malam hingga patung bangunannya hampir sempurna. Ia membentuk sosok tubuh berwajah
peyot tua, tangan kanan di depan perut dengan tangan kiri memegang gandewa.
“Salam hormat saya, guru, …” kata
Bambang Ekalaya menghormat pada guru yang baru selesai dipahatnya.
“Guru … hamba tahu, hamba tidak cukup pantas
meguru pada yang mulia guru … hamba sadar bekal dan kekayaan hamba tak cukup bernilai
dibanding yang akan guru beri ...”
“Namun ijinkan hamba meguru kepada rohmu,
biar hamba mengabdi dengan keteguhan hati, berkhayal terhadap sosok anda, guru Drona.”
Sudah pasti wujud patung itu hanya angkuh
berdiri.
Siswa yang memahat gurunya itu kini berdiri.
Sorot matanya tampak berisi wibawa, pakaian lusuhnya menyisakan kebesaran
ksatria walau berdebu dan terluka di sini sana.
Perlahan, siswa itu meraih gendewa
besar. Ia berdiri, menghormat lagi pada gurunya, tangan kanannya mengambil anak
panah dari tumpukan, mengambil sikap, membidik, dan … wusss … sepucuk anak
panah melesat cepat.
Sementara itu Guru Drona sedang
mendidik Permadi memanah sasaran bergerak.
“Luar biasa, anakku! Kamulah wayang
muda paling berbakat. Nantinya ilmu panahanmu tidak akan tertandingi,”
“Benarkah guru? Benarkah aku bakal tak
tertandingi?” tanya Permadi sambil menyiapkan anak panah berikutnya.
Seekor bajing berlarian kian ke mari.
Sekelilingnya berserakan bangkai binatang tertembus anak panah. Ada anakan elang
tertembus panah di talingan, ada alap-alap putus sayap, ada bunglon tertancap anak
panah di batang pohon.
Wusss …
Dua pucuk anak panah melesat serentak dari
busur Permadi. Wujud bajing yang seperti sebuah titik di antara rimbunan pohon,
disasar dua anak panah yang berkejaran. Dua pucuk anak panah pun mancep. Tapi bajing
itu melompat dan … anak panah mancep di batok kepala ular yang siap menerkam si
bajing. Anak panah kedua membelah anak panah pertama.
Namun tiba-tiba … Wuss … crepp!!
Hampir bersamaan, enam pucuk anak
panah menancap sekaligus. Anak panah itu membentuk lingkaran di sekeliling bajing,
membuatnya terpagari tak bisa berlari.
Drona dan Permadi njumbul terkejut
bukan kepalang. Keduanya serentak berlari terbang menuju rerimbunan, sasmitanya
mengatakan tempat itu jadi asal
kedatangan keenam anak panah.
Di sana berdiri sesosok wayang,
tangannya memegang gendewa setinggi hampir dua kali badannya.
“Kurang ajar! Siapa kamu wayang lusuh ..?!”
Permadi membentak tak suka.
“Beraninya kamu mengganggu …” Drona dengan
suara pecah parau menghardik wayang yang tertunduk.
Pemanah mahir itu pun berlutut
membungkuk hormat di hadapan Drona. “Ampunilah hamba yang lancang, Guru. Hamba
hanya ingin menjajal apa yang hamba pelajari dari Guru ...” Drona dan Permadi
saling bertatapan. Permadi melengos tak suka.
Maka pemanah itu pun berniat menunjukkan
kepada Drona dan Permadi apa yang sudah dilakukannya hingga ia memanggil Drona
sebagai guru. Dengan menembus hutan selama dua hari, sampailah mereka ke tempat
pemanah berlatih. Mereka terbelalak memandangi patung batu yang sama persis
dengan sosok tubuh Drona. “Kepada guru hamba belajar,” ujar Bambang Ekalaya.
“Ampunilah
hamba, Guru ...”
“Aku bukan gurumu..!!!” Drona
berteriak memotong.
Sejenak diam, Bambang Ekalaya
memberanikan diri melanjutkan, “Maafkan saya. Saya sebenarnya juga seorang putra
raja, dari kerajaan kecil terpencil di ujung barat dunia wayang bernama
Paranggelung. Dua puluh purnama perjalanan berkuda hamba tempuh untuk menuntut
ilmu pada panjenengan, tapi bekal hamba habis sebelum tiba di Hastinapura.”
Drona diam termangu dengan sorot mata
kagum. Permadi mendekat menyiratkan iri.
Drona menghela nafas, memandang pemanah
yang mengaku muridnya dan, “Ilmu memanahmu luar biasa. Sekarang buktikan baktimu
pada aku, gurumu.”
Bambang Ekalaya mengangguk.
“Potong jempol tangan kananmu, kemudian
berikan padaku!”
Perintah itu mula-mula mengejutkan Permadi.
Tapi setelah mengetahui Bambang Ekalaya menyanggupinya, Permadi tersenyum. “Tinggal
aku saja pemanah terhebat yang diajar guru Drona. Tanpa ibu jari, mustahil kau
bisa memanah lagi…”
Tanpa ragu lagi Bambang Ekalaya mengambil
belati dari pinggangnya. Dengan tangan kiri dipotongnya ibu jari tangan kanan
itu. Darah segar mengalir, potongan jari itu dihaturkannya penuh hormat kepada
Drona.
Drona menerima srah-srahan muridnya dan
berbalik melangkah meninggalkannya. Permadi mengikuti, dan ikut berhenti saat
Drona berpaling. “Siapa namamu?”
“Bambang Ekalaya, Guru...”
Drona dan Permadi melangkah pergi
meninggalkan Bambang Ekalaya yang masih berlutut tertunduk. Tak nampak rasa
sesal di wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar