Duryudana Gugur

duryudana
Tentara Hastina telah kehilangan panglima perang akibat kematian Prabu Salya di tangan Yudistira. Duryudana lari masuk hutan karena ketakutan hingga kubu Kurawa kocar-kacir tanpa pemimpin. Kesudahannya, para tentara Kurawa menarik diri ke perkemahan. 

Seminggu berlalu tanpa ada kegiatan tempur lagi. Kubu Pandawa sebenarnya selalu siaga dengan tentaranya. Bima masih memimpin peleton penggempur dengan Arjuna di sayap kanan dan Nakula Sadewa di sayap kiri. Namun kubu Kurawa tak tampak menyiapkan dirinya untuk peperangan.

Sepekan berlalu dengan anyep. Beberapa raja dan adipati yang datang dari blok negara pendukung Hastina telah pulang ke tempat asalnya, bahkan beberapa sisa tentara mengaku takluk di hadapan Pandawa. Tentara taklukan ini mengadu ke Pandawa bahwa Duryudana menghilang ke hutan.
Sri Kresna pun menyimpulkan bahwa saat untuk mengakhiri Bharatayuda sudah tiba. 

Maka bersama Pandawa, Sri Kresna nglurug ke perkemahan Hastina. Di temukan di sana sisa-sisa tentara yang tak berminat lagi meneruskan perang, dan ketika pengejaran dilakukan, –tanpa kesulitan-- Duryudana dapat ditemukan di dalam hutan. Ia tampak katisen berendam di danau. 

Kedatangan Pandawa tidak ditanggapi sebagai kedatangan musuh. Duryudana bingung hampir mirip wayang linglung, dan saat ditanya apa yang dilakukan, dia mengaku sedang mengenang saudara-saudaranya yang telah gugur mendahului kita. 

Duryudana malah memaparkan rencana yang bakal dia lakoni. “Biarlah tahta Hastina kuserahkan Yudistira saja. Setelahnya akan kubuang diriku ke rimba seperti Pandawa, ngiras pantes sebagai balasan.” 

Mendengar rancangan Duryudana, Yudistira –dengan keadilan dan kebijaksanaannya— menyatakan bahwa ia tak menginginkan Hastina. Baginya cukup Indraprasta. Namun bila Duryudana ingin hal yang berbeda, ia pun diajangi jembar. Duryudana boleh menunjuk satu di antara kelima Pandawa sebagai lawan tanding. Duryudana boleh tetap berkuasa di Hastina jika menang dan Pandawa cukup di Indraprasta. 

Dengan pesan seperti itu Pandawa dan Sri Kresna meninggalakan Duryudana. Duryudana pun mulai memilih-milih lawan tandingnya. 

Baginya, Yudistira cukup sabar walau menguasai ilmu-ilmu yang aneh. “Bisa-bisa aku ditumpes seperti Prabu Salya,” pikir Duryudana tentang Yusdistira. Akan halnya Bima, bagi Duryudana ia musuh utama karena ada dendam. Kekuatannya sebanding dengan Bima tapi, “Aji-aji kekuatannya mbebayani,” begitu kesimpulan Duryudana. 

Sedang Arjuna sudah pasti bukan musuh yang boleh dipilih karena kesaktian dan pusakanya cukup untuk menghabisinya dalam sekejap. Sedang Nakula-Sadewa, lincah dan pintar memainkan pedang dan panah. “Habis aku diiris-iris jadi sate oleh panah mereka,” pungkas Duryudana. 

Hari bergeser pagi dan Pandawa siap di Kurusetra menunggu kedatangan Duryudana. Setiap wayang tampak menyandang senjata komplet kecuali Yudistira. Ia tampak lembeyan tenang tanpa gaman di tangan. 

Tak lama munculah Duryudana. Ia gagah dengan senjata gada. Hadir pula seorang penengah, Prabu Baladewa yang jujur-adil-dan tak memihak. 

Baladewa pun mempersilakan Duryudana segera memilih lawan tanding.

“Aku pilih Bima. Ia paling banyak membantai saudaraku Kurawa. Ia menghirup darah Dursasana dan merobek mulut paman Sangkuni,”  begitu alasannya.

Bima, --yang ternyata juga berharap dipilih-- segera maju membawa gada. 
Sebelum memerintah dimulainya pertarungan, Baladewa mengingatkan agar tarung itu menjadi pertarungan dua ksatria tidak ada pihak ketiga. Kedua pihak pun sepakat.

Maka sabung pun diawali. 

Duryudana bertarung mati-matian dengan harapan merajai Hastina. Ia tak tampak pengecut seperti biasanya. Namun dalam suatu sesi mahkota Duryudana menjadi hancur terhantam gada Bima. Menyusul kemudian tubuh Duryudana yang terpukul. Duryudana terlempar dan terjatuh. 

Tak dinyana, Duryudana yang terlihat kalah masih mampu bangun lagi tanpa menunjukkan kesakitan. Pukulan-pukulan gada Bima berulang-ulang menghantam Duryudana lagi dan melemparkannya lagi dan terjatuh lagi. Duryudana berulang bangkit-bangkit lagi dan … akhirnya Bima yang kelelahan. 

Saat Bima lengah karena lelah, mahkotanya berhasil dihantam gada Duryudana. Mahkota itu hancur. 

Arjuna, karena cemas akan keselamatan saudaranya mendekati Sri Kresna. “Mengapa Duryudana tak bisa dikalahkan Bima?" bisiknya penasaran. 

“Duryudana dulu, sewaktu bayi, pernah mandi air suci. Jangan heran kalau badannya keras seumpama besi. Dipukul pun terasa sakit tapi segera pulih dengan cepat,” terang Sri Kresna.

“Jadi? … Cara mengalahkannya?” Tanya Arjuna cemas. 

“Ia dulu tak mandi dengan sempurna. Paha kirinya tertutup sehelai daun saat mandi, jadi di situlah kelemahannya.” 

Maka Arjuna pun secepatnya memberi kode pada Bima. Ia tepuk-tepuk paha kiri untuk memberi tahu Bima dan … ia faham maksud Arjuna. Ia pun mengeluarkan aji Bayubraja, dihantamnya paha kiri Duryudana dan … Duryudana terguling kesakitan. 

Kali ini Duryudana tak mampu bangkit lagi. Bima menghentikan serangannya karena Duryudana tidak berdaya lagi. Bagi Bima, ksatria tidak dibenarkan menyerang orang yang tiada berdaya. 

Dibiarkan kesakitan tanpa dihabisi, Duryudana berteriak-teriak minta diselesaikan. Dan Sri Kresna pun menasihati Bima agar mengakhiri hidup Duryudana agar tidak menjadi cacat tanpa manfaat sepanjang hayat. Menurut Kresna, justru sebagai ksatria Bima harus menghormati ksatria lain dengan mengakhiri hidupnya, bukan menyiksanya dalam cacat. 

Bima pun segera mendekati Duryudana dan menyudahi hidupnya dengan hantaman gada di kepala. Ya, tepat di kepala. 

Baladewa segera maju ke tengah arena. Ia hentikan pertarungan dengan menyatakan kemenangan Bima. Bharatayuda pun berakhir dengan kemenangan Pandawa.

3 komentar:

  1. Mahabharata versi Jawa beda dengan versi India, tapi menurutku lebih seru versi Jawa

    BalasHapus
  2. Klo boleh tau ini versi jawa apa india ya?

    BalasHapus