Kurawa Lahir

Dewi Gendari
Destarastra dirundung sedih lebih-lebih isterinya --Dewi Gendari. Mereka bersedih jalaran kandungan Dewi Gendari sudah berusia tiga tahun namun belum membawa tanda bakal segera lahir.

Dalam masa itu angen-angen Dewi Gendari tak sekalipun lepas dari Prabu Pandu Dewanata. Kebencian mendorongnya berdoa agar bisa menumpas keturunan Pandu –entah kapan waktunya-- sebagai pelampiasan dendam. Isteri Adipati Hastinapura ini senantiasa gelisah dan hampir putus asa akibat memendam dendam serta kandungannya yang tak normal. 

Dewi Gendari tak pernah tentram. Lebih-lebih kini Dewi Kunti --permaisuri Prabu Pandu-- telah melahirkan putera pertama --Raden Puntadewa, bahkan juga hampir melahirkan putera keduanya. Kegelisahan Dewi Gendari menjadikan darahnya mendidih.


Karena gerah ia tak betah tinggal diam di kaputren. Ia melangkah menuruni tangga, menulusuri jalan setapak di rerumputan, menuju tamansari kerajaan Hastinapura. Ngetut di belakangnya empat orang emban pengiring. 

Surya telah condong ke barat, pandang matanya sayu, tak diliriknya keindahan taman. Terus melangkah, tanpa terasa Dewi Gendari sudah melewati gerbang ke tujuh --bagian akhir taman. Dimasukinya taman berisi binatang-binatang buas dan jinak. Tak dipandangnya kolam pualam dan bunga teratai yang ditempati ikan warna-warni dalam biru-jernihnya air. 

Tak diketahui Dewi Gendari, kedatangannya di taman satwa sebenarnya membuat binatang buas jadi beringas, binatang jinak jadi tak jenak, dan unggas merasa was-was. Tengara buruk –entah kenapa— muncul di sana. 

Sehembus angin keras tiba-tiba membuyarkan lamunan Dewi Gendari. Tersadar hadirnya cuaca buruk, Dewi gendari mengajak emban balik ke kaputren. Langkahnya dipercepat karena gerimis, namun suara harimau mengaum begitu keras --membuatnya kaget dan marah. 

Tubuh Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, kulitnya berkeringat, … tanpa dinyana … ia melahirkan di tempatnya berdiri, beberapa jengkal menjelang gerbang kaputren.  
Namun ... Dewi Gendari bukan melahirkan bayi wayang.

Yang mbrojol hanyalah segumpal daging berdarah kental,
merah kehitaman,
namun bergerak berdenyut
seperti bernyawa.

Dewi Gendari langsung marah mengetahui telah melahirkan gumpalan daging. Diinjaknya gumpalan hingga pecah, ditendangnya berhamburan, berserak di rerumputan taman. 
Dewi Gendari geram. 
Ia menjerit, mengangis, … kemudian pingsan. 

Saat diusung ke kaputren, Dewi Gendari tak mengetahui lagi bahwa setiap serpihan daging berserakan itu terus berdenyut dan bergerak. 
Begawan Abiyasa datang secara gaib dari pertapaannya. Dimintanya agar Adipati Destarastra memerintahkan abdi menutupi serpihan-serpihan daging dengan godong jati. 

Para emban, --meski dibalut takut dan was-was-- melaksanakan tugasnya menutupkan godong jati pada setiap serpihan daging. Diketahui kemudian jumlah mereka ada 99 keping.  
Suasana taman Hastinapura kini menyeramkan. Segenap binatang buas mengaum-melolong-memekik. Emban ketakutan, bahkan prajurit penjaga malam pun pucat. 

Di tempatnya ditidurkan Dewi Gendari siuman. Ia turun dari tempat peraduan dan menuju pemujaan. Dirapalkannya lagi keinginan berputera banyak. Gerimis air matanya menegaskan kuatnya doa. 

Dan ... ke hadapan Dewi Gendari yang berduka tiba-tiba muncul Batari Durga. Ia menjanjikan, lewat tengah malam nanti bakal terdengar tangis bayi di taman. Dewi Gendari dipesan agar menghampiri bayi wayang puteranya itu. 

Diringi rasa marem, Dewi Gendari makin sesenggukan dalam tangis. Sementara itu Batari Durga menghilang balik ke kahyangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar