Sesaji Aswomedorabu

prabu dasarata
Di luar kebiasaan, Prabu Dasarata tinggal di paseban sendirian. Biasanya sang Prabu jengkar mendahului semua pejabat kerajaan, tapi kini ketika rekyono patih, menteri-menteri, nayoko-nayoko projo, dan semua wayang sudah meninggalkan balairung, Prabu Dasarata terhenyak di singgasananya. Dipandangnya lantai paseban yang gilar-gilar membentang luas. Matanya menerawang kedepan, melihat alun-aun dengan sepasang pohon wringin kurungnya.

Prabu Dasarata dan Permaisuri Dewi Susalyo menikah cukup lama tetapi belum juga punya keturunan. Hal ini merisaukan hatinya, karena masalah keturunan bukan hanya urusan pribadi melainkan sudah jadi masalah negara.


Prabu 
Dasarata Raja kawentar di dalam negara besar Ayodya yang kaya raya, subur makmur gemah ripah loh jinawi, toto titi tentrem dan kertoraharjo. Karena waktu itu belum ada bayi tabung, satu-satunya jalan mendapat keturunan ya harus menikah lagi.

Tak tanggung-tanggung, Raja Ayodya menikahi dua garwo ampéan yaitu Dewi Kekayi dan Dewi Sumitro. Setelah lama menikah, ketiga istri itu tetap saja tidak kunjung hamil. Atas saran seorang pandhita sang Raja mengadakan sesaji Aswomedo. Semua istrinya melakukan upacara ritual menari-nari seolah melakukan hubungan badan dengan bangkai kuda, tidak dijelaskan mengapa bukan dengan kuda hidup, juga tidak jelas mengapa dengan kuda.

Raja Ayodya mungkin mandul. Ini masalah serius karena Prabu 
Dasarata tidak punya saudara kandung. Siapa yang akan meneruskan tahta Ayodya? Prabu Dasarata pernah datang ke asrama resi-resi untuk mendapatkan suwuk. Namun suwuk ini bukan sebatas kata-kata, jampi-jampi atau doa-doa, melainkan juga minta ketiga garwonya dibuahi oleh Begawan-begawan di pertapaan.

Akhirnya ketiga garwo raja hamil dan melahirkan hampir bersamaan. Yang pertama melahirkan adalah Dewi Kekayi dan anaknya diberi nama raden Bharoto. Berikutnya, permaisuri Dewi Susalyo melahirkan raden Romowijoyo, sedangkan Dewi Sumitro melahirkan Raden Lesmono. Beberapa bulan berselang Dewi Kekayi melahirkan lagi seorang putra bernama raden Satrugeno. Betapa bahagianya sang Prabu memiliki empat putra sekaligus.

Keempat putra tersebut dididik di kraton, segala olah jaya  kawijayan, kesaktian, ilmu tata negara, militer, hukum diajarkan. Sejak kecil raden Romowijoyo telah menunjukkan bakat yang luar biasa. Tidak ada seorangpun yang meragukan bahwa beliaulah putra mahkota kerajaan Ayodya. Prabu Dosoroto sangat bahagia dengan putra-putranya, dan sangat bangga pada putra sulungnya Raden Romowijoyo, yang diagul-agulkan bakal jadi penggantinya.

Walaupun beda ibu, sejak kecil Lesmono sangat dekat dengan Romo, dan Bharoto kompak dengan adik kandungnya Satrugeno. Pengasuh Bharoto dan Satrugeno adalah emban Mantoro. Hubungan emban ini dengan Dewi Kekayi sangat dekat, dan walaupun hanya emban, pengaruhnya sangat besar. Emban Mantoro adalah emban yang ambisius, cita-citanya tinggi, menginginkan kedudukan tinggi dan kemaruk harta juga kuasa.

Lumrah dalam kehidupan poligami, ada cemburu danirihati. Dewi Kekayi memendam rasa ini, iri pada Dewi Susalyo yang jadi permaisuri. Ia iri karena anaknya tak sehebat anak marunya, hingga terlintas keinginan andai putranya jadi raja. Namun ia tidak bisa berbuat karena Romo terlalu sulit ditandingi.

Suatu hari ketika sang Prabu berburu sendirian, sampai tengah hari tak seekorpun buruan tampak. Sang raja kelelahan dan mulai kesal, saat beristirahat tiba-tiba tampak rumput dan ilalang bergerak di seberang danau. Meski jaraknya jauh sang Prabu tak ingin kehilangan. Tak ada waktu untuk memutar, agar buruan tak lari, dengan kecakapannya membidik, sang Prabu pun melepaskan panah.

Betapa kagetnya sang Prabu mendengar jeritan manusia. Tergopoh-gopoh didekatinya semak, didapatinya anak muda terkapar terkena panah. Melihat pakaian Prabu Dosoroto, anak muda itu tahu bahwa ia berhadapan dengan raja. Dengan terengah-engah anak muda itu berkata, “Mengapa baginda memanah saya?”
“Aku tak sengaja,” Prabu Dosoroto mencoba menyelamatkan nyawa anak itu dengan menaburkan obat-obatan yang dibawa.
“Saya mohon bantuan,“
“Katakan apa yang bisa kulakukan, siapa kamu ini?”
“Saya anak Sharwono, kedua orang tua saya buta, mereka menantikan kedatangan saya membawa beras,“ anak Sharwono mulai sesak nafasnya.
“Mohon bawakan beras ini ke, … “ sebelum selesai kalimatnya terucap, nyawanya keburu meregang. Dengan masgul Prabu Dosoroto memanggul jasadnya mencari rumah orang tuanya.

Begawan Sharwono adalah pendito yang gentur bertapa hingga jadi resi yang sakti. Istri Resi Sharwono juga buta hingga sangat tergantung pada putranya. Prabu Dosoroto tertegun, pelan-pelan jenazah itu diletakkan.
Sang resi yang merasakan kedatangan sang Prabu bersabda, “Siapakah angger ... ? “
Terbata sang raja berkata, “Aku Prabu Dosoroto dari Ayodya.Aku kini kena sambekolo. Tidak sengaja memanah anakmu hingga mati. “

Alangkah terkejutnya kedua orang tua ini. Dengan sedih bercampur marah, sang Wiku berkata, “Bagaimana mungkin raja besar seperti anda berlaku ceroboh!“ Prabu Dosoroto hanya diam. Dengan geram sang pandhito mengutuk Prabu Dosoroto dengan suara menggeletar, “Wahai kulup raja Ayodya, ketahuilah karmamu, … Suatu saat nanti kulup akan mengalami hal yang membuatmu sangat berduka, ... Anakmu akan ada yang kena bilahi, ... Angger akan berpisah dengan anak yang paling kulup cintai, ... Dan kulup akan mati merana dalam kesedihan.“

Sebagai raja yang berbudi, Dosoroto sudah cukup tertekan dan merasa bersalah atas kecerobohannya, dan kini harus menerima kutukan yang tak bisa ditampik. Setelah sekian lama, barulah beliau bisa melupakan supoto Sharwono. Tanpa disadari oleh Prabu Dosoroto, Supoto Sharwono diam-diam menunjukkan tuahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar